Justisi.id || Karawang _ Di tengah kabar duka dari Sumatra dan Aceh yang kembali digempur banjir bandang dan tanah longsor, ironi justru tampak di pesisir Karawang. Saat berbagai daerah berjuang menghadapi bencana akibat rusaknya alam, sejumlah oknum masyarakat di Karawang malah menebang hutan mangrove dengan dalih Reforma Agraria.
Padahal, mangrove bukan sekadar tanaman di pesisir. Ia adalah sabuk hijau penting yang melindungi kawasan pesisir dari abrasi, gelombang pasang, dan intrusi air laut, serta menjadi habitat berbagai biota laut. Menebangnya sama saja menghapus pelindung terakhir yang menjaga keselamatan masyarakat sendiri.
Salah satu warga yang enggan menyebutkan identitasnya mengaku resah melihat tindakan tersebut. “Kami di sini yang merasakan dampaknya nanti. Kalau mangrove habis, siapa yang akan menahan abrasi? Tapi kalau kami bersuara keras, takutnya ada tekanan. Yang jelas, ini sudah kelewatan,” ujarnya.
Sangat disayangkan, ketika bencana terjadi di tempat lain dan menjadi peringatan bagi semua, masih ada pihak yang mengabaikan keseimbangan alam demi kepentingan sesaat. Lebih ironis lagi, ketika dampaknya kemudian datang banjir rob, abrasi, hingga rusaknya ekosistem justru pemerintah yang kerap disalahkan, padahal kerusakan itu berawal dari ulah tangan manusia sendiri.
Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum harus segera bertindak tegas. Reforma Agraria tidak boleh dijadikan tameng untuk merusak kawasan lindung, apalagi yang memiliki fungsi vital bagi keselamatan masyarakat.
Saat daerah lain sedang bangkit dari bencana, Karawang seharusnya belajar, bukan mengulangi kesalahan yang sama. Menjaga mangrove berarti menjaga masa depan pesisir serta keselamatan warga yang tinggal di sekitarnya.
(Rudi)

.jpg)

