BREAKING NEWS

Loading...

Kisah Inspiratif : Pengabdian Seorang Istri

Februari 14, 2025, Jumat, Februari 14, 2025 WIB Last Updated 2025-02-14T00:27:21Z
'Advertisement'ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT



JUSTISI.ID || KARAWANG - Kisah Inspiratif ini dari seorang yang bernama "Acahayati binti Acep Suhari. Seorang istri,sekaligus sebagai seorang ibu, dan seorang hamba Allah yang meniti jalan hidup untuk satu tujuan: mencari ridho-Nya. dari kecil, aku telah diajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang memiliki segalanya, tetapi tentang memberi segalanya dengan keikhlasan. Dan sejak hari aku mengikrarkan janji suci dengan suamiku, Kiyai Haji Raden Mas'udinur, aku tahu bahwa hidupku bukan lagi tentang diriku sendiri, tetapi tentang pengabdian kepada suami, kepada santri-santri yang kelak menjadi penerus perjuangan Islam, dan yang paling utama, kepada Allah.


Setiap pagi sebelum fajar menyingsing, aku terbangun lebih dahulu. Sujudku adalah awal dari hariku, doa-doaku adalah bekalku. Aku melangkah ke dapur dengan langkah ringan meski tubuh terasa lelah. Tanganku mulai bekerja, menyalakan api di tungku, mencuci beras, memotong sayur, menyiapkan hidangan untuk suami dan para santri. Setiap suapan makanan yang mereka nikmati adalah hasil kerja tanganku yang kusertai dengan cinta. Aku tidak pernah merasa letih, karena bagiku ini bukan sekadar pekerjaan, melainkan bentuk ibadah.


Aku ingat, setiap kali suamiku duduk menikmati makanannya, aku selalu memperhatikannya diam-diam. Aku ingin memastikan bahwa ia menyukai apa yang kusajikan. Aku ingin melihatnya bahagia. Aku ingin melihatnya pulang dari mengajar dengan hati yang ringan karena tahu di rumahnya ada istri yang mencintainya dengan penuh ketulusan. Aku tak pernah lebih dahulu menyantap makananku sebelum ia mengambil suapan pertama. Bagiku, ridho suami adalah ridho Allah, dan setiap senyum yang terukir di wajahnya adalah sumber kebahagiaanku.


Santri-santri di pondok juga adalah anak-anakku. Mereka datang dari berbagai tempat, meninggalkan rumah dan keluarganya untuk menimba ilmu agama. Aku tak ingin mereka merasa kesepian. Aku ingin mereka merasakan bahwa di sini, mereka juga memiliki seorang ibu. Aku menjahit pakaian mereka yang robek, menyiapkan makanan di saat mereka kelelahan, memastikan bahwa mereka selalu dalam keadaan sehat dan nyaman. Aku tidak pernah mengeluh. Justru dalam pengabdian ini, aku merasa semakin dekat dengan Allah.


Pernah suatu malam, tubuhku terasa begitu lemah. Aku hampir tak sanggup berdiri. Tapi aku tetap berjalan ke dapur, tetap memasak, tetap mengurus semua kebutuhan suami dan santri. Karena aku tahu, di setiap tetes keringatku, ada pahala yang Allah persiapkan. Aku ingin menjadi seperti Khadijah binti Khuwailid, yang setia mendampingi suaminya dalam suka dan duka. Aku ingin menjadi seperti Fatimah Az-Zahra, yang mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk keluarga tanpa sedikit pun mengharapkan balasan duniawi.


Hingga akhirnya, hari itu tiba. Aku merasakan tubuhku semakin lemah, namun hatiku tetap tenang. Aku menatap suamiku, senyumku tak pernah luntur. "A, saya duluan ya," bisikku. Aku melihat seseorang datang menjemputku. Wajahnya bersih, pake jubah dan sorbannya putih. Aku tahu, ini adalah pertanda baik. Aku tersenyum, lalu mengucapkan satu kata terakhir dalam hidupku: "Allah."


Aku pergi dengan wajah bercahaya, meninggalkan dunia dengan damai, dan Insya Allah, membawa cinta dan pengabdianku sebagai bekal menuju surga.


Wahai saudariku, jika engkau berkata bahwa hidup ini adalah untuk mencari ridho Allah, maka teladani lah jalan ini. Kesetiaan, ketulusan, dan pengabdian kepada suami dan keluarga bukanlah beban, melainkan tangga menuju kemuliaan. Bukan berarti menghilangkan jati diri, tetapi justru mengukuhkan diri dalam peran yang penuh keberkahan. Ridho suami adalah ridho Allah. Dan dalam pengabdian ini, ada surga yang menanti.


Semoga kisah ini menggetarkan hatimu, membuka mata hatimu, dan menuntun langkahmu menuju kebahagiaan hakiki. Aamiin Ya Rabbal ‘Allamin.***


Komentar

Tampilkan

Terkini