KARAWANG || JUSTISI.ID – Dugaan praktik pungutan liar (pungli) dalam dunia pendidikan kembali menjadi perhatian. Kali ini, sorotan tertuju pada SMP Negeri 2 Kutawaluya, Kabupaten Karawang, setelah sejumlah wali murid adanya kewajiban pembayaran seragam sekolah senilai Rp1.070.000 per siswa. Praktik ini dinilai menyalahi aturan, khususnya Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022 yang secara jelas melarang pihak sekolah menjadi pelaku usaha dalam pengadaan seragam.Selasa,(22/Juli/2025)
Informasi yang dihimpun menyebutkan bahwa para wali murid tidak diberikan opsi untuk membeli seragam secara bebas di luar sekolah. Pihak sekolah diduga secara tersirat mewajibkan agar pembelian dilakukan dalam satu paket yang telah ditentukan, meliputi baju koko, batik sekolah, serta kaos olahraga.
Yang menimbulkan kecurigaan ,transaksi pembayaran tidak dilakukan melalui prosedur yang sudah ditentukan. Sebaliknya, uang disetorkan secara langsung kepada individu tertentu yang disebut sebagai “penanggung jawab”, dengan nama Pak Dadang yang paling sering disebut oleh wali murid sebagai penerima uang.
Ironisnya, sejumlah wali murid mengaku bahwa penyerahan uang dilakukan di rumah pribadi yang bersangkutan,hal ini memicu dugaan adanya praktik monopoli, penyalahgunaan kewenangan, dan pengabaian terhadap prinsip transparansi serta akuntabilitas dalam lingkungan pendidikan.
Lebih lanjut,Dikatakan wali murid yang berbeda berinisial (D) juga mengungkapkan biaya yang di bebankan kepada orang tua siswa bukan tidak di terapkan hanya pada tahun ajaran yang sekarang saja. Saat anaknya masuk kelas 7 pada tahun sebelumnya, ia diminta membayar Rp1,5 juta untuk seragam dan bangunan sekolah. “uang itu nantinya untuk pembelian seragam dan juga pembayaran uang bangunan,” ujarnya.
Namun, klarifikasi datang dari pihak sekolah. Saat dikonfirmasi awak media pada Selasa (15/7/2025), Wakil Kepala Sekolah SMPN 2 Kutawaluya, Dadang, membenarkan adanya transaksi pembelian seragam melalui sekolah. Ia menyebut bahwa memang ada penitipan dana seragam oleh sebagian wali murid, tetapi membantah bahwa pembelian tersebut bersifat wajib.
“Memang ada pembelian seragam dan uangnya dititipkan ke sekolah. Tapi itu bukan kewajiban, itu pun tidak semua orang tua yang sudah membayar,” ujar Dadang. Ia juga menegaskan bahwa pihak sekolah tidak memaksa wali murid, dan proses tersebut merupakan inisiatif dari orang tua yang ingin praktis dan seragam.
Meski demikian, pernyataan tersebut belum meredam keresahan. Beberapa wali murid mengaku belum menerima informasi yang transparan soal mekanisme, rincian anggaran, maupun dasar hukum dari program seragam sekolah ini. Mereka berharap ada kejelasan resmi dari pihak sekolah maupun Dinas Pendidikan Karawang.
Praktik semacam ini dinilai rawan disalahgunakan dan berpotensi menciptakan diskriminasi antar siswa, terutama bagi yang tidak mampu membayar.
Dinas Pendidikan Kabupaten Karawang diharapkan segera turun tangan menyikapi polemik ini. Selain untuk memastikan tidak adanya pelanggaran administrasi, langkah ini juga penting guna mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan negeri.
Kasus ini diharapkan menjadi pintu masuk bagi pembenahan tata kelola pendidikan di Karawang secara lebih luas. Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum diminta tidak tinggal diam agar tercipta iklim pendidikan yang bersih, adil, dan terbebas dari pungli yang menciderai kepercayaan publik.
Penulis : red