Justisi.id || Malang – Prof Dr Rachmad Safa’at SH MSi menilai demonstrasi mengawal putusan MK hanyalah sebagian kecil dari masalah yang jauh lebih besar mengancam Indonesia saat ini. Ia menyerukan penghentian oligarki dan dinasti politik yang dinilai semakin mencengkeram Indonesia. Perlu tindakan tegas terhadap pejabat dan pengusaha yang memanfaatkan kekayaan negara untuk kepentingan pribadi serta bahaya politik dinasti yang menghalangi regenerasi kepemimpinan.
Prof Dr. Rachmad Safa’at menyoroti urgensi gerakan mahasiswa. Khususnya dalam upaya mengingatkan para legislator agar tetap mematuhi Mahkamah Konstitusi dalam menetapkan aturan terkait usia dan ambang batas partai politik. Namun, menurutnya, isu ini hanyalah sebagian kecil dari masalah yang jauh lebih besar yang mengancam Indonesia saat ini:
“Saat ini, Indonesia tengah berada dalam cengkeraman politik oligarki. Sejumlah kecil pejabat dan pengusaha terlibat dalam kolusi untuk menguasai kekayaan negara, seperti sawit, nikel, batubara, dan emas. Hanya segelintir orang, kurang dari seratus, yang menguasai sumber daya alam kita,” seru Guru Besar bidang Lingkungan Hidup Universitas Brawijaya ini.
Lebih lanjut, Prof. Rachmad mengkritik, pejabat-pejabat mendapat saham dari perusahaan-perusahaan besar, sementara rakyat tidak mendapatkan apa-apa. Menurutnya, pengelolaan tambang di Indonesia saat ini sangat buruk dan hanya menguntungkan penguasa. Alih-alih memberikan kontribusi besar pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), justru pendapatan negara terbanyak datang dari pajak rakyat.
“Rakyat dipajaki tinggi-tinggi, sementara kekayaan alam kita diambil dan dibagi-bagi di antara pejabat. Oligarki ini harus dihentikan, dan mereka yang telah merusak lingkungan serta mengambil kekayaan alam harus dimintai pertanggungjawaban,” ujar alumni S3 Ilmu Hukum Universitas Diponegoro ini.
Selain oligarki, Prof. Rachmad juga menyoroti, bahaya politik dinasti yang berkembang di Indonesia. Menurutnya, politik dinasti sudah menghalangi regenerasi kepemimpinan.
“Hampir semua keluarga Jokowi ditempatkan di posisi strategis untuk menguasai sumber daya alam secara berkelanjutan. Praktik ini tidak hanya memotong kesempatan generasi muda untuk memimpin, tetapi juga mengakibatkan ketidakadilan sosial,” tegasnya, saat ditemui sebelum demonstrasi mahasiswa di depan DPRD Kota Malang.
Prof. Rachmad juga menyoroti berbagai pelanggaran terhadap Pancasila dan konstitusi yang terjadi di era pemerintahan saat ini. Ia menyebutkan, asas Ketuhanan Yang Maha Esa sering kali diabaikan.
“Banyak pejabat publik yang melanggar etika hingga melanggar ajaran agama. Selain itu, proses pemilu yang seharusnya menjadi representasi dari musyawarah untuk mencapai mufakat juga dinodai. Bahkan undang-undang cipta kerja lebih menguntungkan pengusaha daripada masyarakat,” beber pria kelahiran Surabaya ini.
Keadilan sosial, sebagai salah satu prinsip utama Pancasila, menurut Prof. Rachmad, juga telah dilanggar. Sebagai negara kaya, banyak orang yang tidak bekerja di Indonesia karena salah kelola. Banyak pemuda pedesaan terpaksa merantau, karena sulitnya mendapatkan pekerjaan, sehingga mengancam ketahanan pangan negara.
“Penting mengelola pangan dengan baik, agar seluruh tata kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik. Saya mengingatkan Prabowo agar menghapus semua keburukan yang terjadi di era Jokowi. Jika ingin membawa perubahan yang lebih baik bagi Indonesia, bangun yang baru dan jangan mengikuti jejak Jokowi,” sarannya.
Terakhir, Prof. Rachmad juga mengkritik, kebijakan pemerintah yang menyerahkan tata kelola tambang kepada organisasi masyarakat, seperti Muhammadiyah dan NU. Menurutnya, langkah ini merupakan upaya untuk menutupi kesalahan pemerintah dalam mengelola tambang.
“Ini salah, karena menyerahkan kepada lembaga yang tidak memiliki keahlian di bidang itu. Muhammadiyah dan NU seharusnya fokus pada dakwah dan pengembangan ekonomi umat, bukan tambang. Kalau rakyatnya sudah dibimbing oleh NU dan Muhammadiyah, tugas negara adalah membantu mereka agar tidak miskin,” tegas penulis buku Hukum Oligark ini.
Prof. Rachmad menutup pernyataannya dengan menyerukan perlunya membangun kesadaran kritis dalam berbangsa dan bernegara. Ia mengingatkan, jika oligarki dan dinasti politik tidak segera dihentikan, Indonesia bisa hancur dalam 5-10 tahun ke depan.
(Red)